Hukum Ghibah

Posted by Buletin Syariah Khamis, 9 April 2009, under | 0 ulasan |

Ghibah yang Diharuskan

Ghibah adalah salah satu perbuatan yang dilarang dalam Islam. Ghibah boleh mencerai-beraikan ikatan kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia. Seseorang yang berbuat ghibah bererti dia telah menyemai kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat. Namun ada beberapa keadaan seseorang diperbolehkan untuk menyebut keburukan orang lain

Definisi Ghibah

Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:
“Ghibah ialah engkau menceritakan tentang saudaramu sesuatu yang ia benci.” Lalu Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?”
Rasulullah SAW menjawab, “Kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, bererti engkau telah berbuat tuduhan terhadapnya” Hadis diriwayatkan. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad.

Bentuk-Bentuk Ghibah yang Diharuskan

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahwa ghibah hanya diharuskan untuk tujuan syara’ yaitu yang disebabkan oleh enam keadaan, iaitu:

1. Orang yang mazlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berhak memutuskan suatu perkara dalam rusaha menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:

“Allah tidak menyukai ucapan buruk dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’ : 148).

Tetapi walaupun kita harus mengghibah orang yang menzalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nisa' ayat 149:

“Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS. An-Nisa: 149)

2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.

Pembolehan ini adalah untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar. Selain itu, ia juga merupakan kewajipan manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim hendaklah saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah.

3. Istifta’ (meminta fatwa) berkaitan sesuatu masalah.
Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih daripada itu.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Ia dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas haruskan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an.

5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, merampas harta orang secara paksa. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambaha dan sepanjang niat melakukan hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Kerana bergaul dengan orang fasik atau pun ahli bid’ah boleh membahayakan agama kita.

6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan gelaran di atas agar orang lain boleh memahami. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.

Wallahu a’lam

Disediakan oleh: Muhidin

Dipetik dari :Syarah Shahih Muslim

Currently have 0 Comments